Sri Sultan sudah bosan jadi gubernur? Berita ini menjadi isu yang bagi sebagian besar warga Yogyakarta sangat mengejutkan. Beragam tanggapan dan pendapat muncul dari segala lapisan masyarakat. Banyak yang menyayangkan, bahkan menentangnya, tapi tak kalah banyak yang menanggapinya dengan positif dan mendukungnya. Mayoritas warga Yogyakarta, terutama di pelosok-pelosok desa, dan komunitas tradisional yang masih memiliki ikatan emosional yang kuat dengan kejayaan Kerajaan Mataram, pasti akan dengan serta merta menolaknya, dan meminta agar Sultan menarik keinginannya tersebut. Terbetik kabar, bahkan sementara orang telah melakukan ritual kebulatan tekad untuk mendukung kepemimpinan Sultan di Yogyakarta. Sementara kalangan, terutama kalangan menengah, akademisi dan elite parpol, tentunya menyambut baik dan menganggap sebagai sebuah keputusan yang bijak dari seseorang yang berjiwa negarawan sejati. Tentu, dengan berbagai macam argumen, entah demi demokrasi yang sehat, atau mendorong Sultan untuk tidak sebatas menjadi milik masyarakat lokal, tetapi menjadi milik nasional, atau sekedar kasak-kusuk menjajagi peluang untuk memperebutkan tahta yang ditinggalkan.

Seandainya memang Sultan benar-benar melepas jabatan sebagai gubernur DIY, kemudian dilaksanakan pemilihan kepala daerah secara langsung, maka untuk pertama kalinya, seorang gubernur bukan Sultan atau Pakualam. Salah satu hal yang dipahami masyarakat awam, termasuk saya, dari keistimewaan Yogyakarta adalah kepala daerahnya yang otomatis dijabat oleh Sultan. Lha kalau sekarang gubernurnya bukan lagi Sultan, terus istimewanya di mana? Apa bedanya Yogyakarta dengan Jawa Tengah, Jawa Barat, Banten, Jawa Timur dan lain-lainnya? Masih mending Daerah Istimewa Aceh yang memiliki UU Pemerintahan Aceh, atau juga Papua yang memiliki otonomi khusus. Lha Jogja? Rak mung kegedhen jeneng thok.

Ada yang berkilah, Jogja itu istimewa karena kulturnya, karena budayanya. Lha budaya opo to? Wong budaya asli Jogja sudah semakin terkikis glombalisme. Kehadiran pusat-pusat perbelanjaan, mal, plasa, trading center dan sebangsanya secara masif (kabarnya ada tujuh mal lagi yang siap dibuka), telah mengubah perilaku warga Jogja. Terlebih kehadiran kafe, diskotik, pub semacam Hugo, Embassy, Republic, Caesar, TJ, Boshe, Liquid, Papillon dan sebangsanya, semakin menegaskan, bahwa budaya Jogja tak ada bedanya lagi dengan budaya kota metropolitan lainnya.

Sebagi pusat pendidikan? Walah, itu sih nggak istimewa babar blas. Selama belum mampu menyediakan pendidikan murah apalagi gratis tapi berkualitas, jangan harap bisa disebut sebagai hal yang istimewa.

Jadi perlu didefinisikan, kenapa sih Jogja masih perlu disebut sebagai Daerah Istimewa? Kuatkan juga dengan legalitasnya berupa UU yang setara dengan UU PA atau UU Otsus Papua. Atau kalau perlu, biar daerah lain nggak iri hati, turuti saran Kang Kombor untuk menjadikan Indonesia sebagai negara federal. Kalau nggak, ya sudah, nggak usah pakai embel-embel istimewa saja. Nggak istimewa juga nggak patheken!

Diluar semua itu, bagiku, Jogja tetaplah istimewa, dan memiliki tempat tersendiri di relung hatiku…